Rabu, 21 September 2011

Sukarno, born Kusno Sosrodihardjo (6 June 1901 – 21 June 1970) was the first President of Indonesia. Sukarno was the leader of his country's struggle for independence from the Netherlands and was Indonesia's first President from 1945 to 1967. He was replaced by one of his generals, Suharto (see Transition to the New Order), and remained under house arrest until his death. Name The spelling "Sukarno" is frequently used in English as it is based on the newer official spelling in Indonesia since 1947 but the older spelling Soekarno, based on Dutch orthography, is still frequently used, mainly because he signed his name in the old spelling. Official Indonesian presidential decrees from the period 1947–1968, however, printed his name using the 1947 spelling. The Soekarno–Hatta International Airport which serves near Jakarta, the capital of Indonesia for example, still uses the older spelling. Indonesians also remember him as Bung Karno or Pak Karno.[3] Like many Javanese people, he had only one name; in religious contexts, he was occasionally referred to as "Achmed Sukarno".[4] The name Soekarno means "Good Karna" in Javanese. Sukarno as an HBS student in Surabaya, 1916. The son of a Javanese primary school teacher, an aristocrat named Raden Soekemi Sosrodihardjo and his Balinese wife from the Brahman caste named Ida Ayu Nyoman Rai from Buleleng regency, Sukarno was born at Jl. Pandean IV / 40 Surabaya, East Java in the Dutch East Indies (now Indonesia). Following Javanese custom, he was renamed after surviving a childhood illness. After graduating from a native primary school in 1912, he was sent to Europeesche Lagere School (Dutch-medium junior secondary school) in Mojokerto. When his father sent him to Surabaya in 1916 to attend a Hogere Burger School (Dutch-medium secondary school), he met Tjokroaminoto, a nationalist and founder of Sarekat Islam, the owner of the boarding house where he lived. In 1920, Sukarno married Tjokroaminoto's daughter Siti Oetari. In 1921 he began to study at the Technische Hogeschool (Technical Institute) in Bandung. He studied civil engineering and focused on architecture. In Bandung, Sukarno became romantically involved with Inggit Garnasih, the wife of Sanoesi, the boarding house owner where he lived as student. Inggit was 13 years older than Sukarno. On March 1923, Sukarno divorced Siti Oetari to marry Inggit (who also divorced her husband Sanoesi). And later on Soekarno also divorced Inggit and married Fatmawati. Sukarno graduated with a degree in engineering on 25 May 1926. In July 1926, with his university friend Anwari, he established the architectural firm Soekarno & Anwari in Bandung, which provided planning and contractor services. Among Sukarno's
architectural works are the renovated building of the Preanger Hotel (1929), where he acted as assistant to famous Dutch architect Charles Prosper Wolff Schoemaker. Sukarno also designed many private houses on today's Jalan Gatot Subroto, Jalan Palasari, and Jalan Dewi Sartika in Bandung. Later on, as president, Sukarno remained engaged in architecture, designing the Proclamation Monument and adjacent Gedung Pola in Jakarta, the Youth Monument (Tugu Muda) in Semarang, the Alun-alun Monument in Malang, the Heroes' Monument in Surabaya, and also the new city of Palangkaraya in Central Kalimantan. Atypically, even among the colony's small educated elite, Sukarno was fluent in several languages. In addition to the Javanese language of his childhood, he was a master of Sundanese, Balinese and of Indonesian, and especially strong in Dutch. He was also quite comfortable in German, English, French, Arabic, and Japanese, all of which were taught at his HBS. He was helped by his photographic memory and precocious mind.[5] In his studies, Sukarno was "intensely modern," both in architecture and in politics. He despised both the traditional Javanese feudalism, which he considered as "backward" and was to blame for the fall of the country under Dutch colonialism, and the imperialism practiced by Western countries, which he termed as exploitation of humans by other humans and is responsible for the deep poverty and low levels of education of Indonesian people under the Dutch. To promote nationalistic pride amongst Indonesian people, Sukarno interpreted these ideas in his dress, in his urban planning for the capital (eventually Jakarta), and in his socialist politics, though he did not extend his taste for modern art to pop music; he had Koes Plus imprisoned for their allegedly decadent lyrics despite his reputation for womanising. For Sukarno, modernity was blind to race, neat and Western in style, and anti-imperialist.[6]

Senin, 19 September 2011


Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
TAHAP PERTAMA.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat disamping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun dikalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.
TAHAP KEDUA
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar
mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut
berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur… Lihat seterusnya..’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
TAHAP KETIGA
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur… Lihat seterusnya..’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Recent Posts